Rabu, 15 Agustus 2012


BAB VII KERAJAAN-KERAJAAN HINDU-BUDDHA DI INDONESIA
Ø  Standar Kompetensi           : memahami Perkembangan Masyarakat Sejak Masa Hindu-Buddha Sampai Masa
   Kolonial Eropa
Ø  Kompetensi dasar               : Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan pemerintahan
                                                    Pada masa Hindu-Buddha di Indonesia serta peninggalan-peninggalannya
Ø  Alokasi Waktu                   : 4 X 40 menit

TUJUAN PEMBELAJARAN
Dengan mempelajari bab ini, kamu diharapkan mampu:
·           Mendeskripsikan perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia;
·           Mengidentifikasikan contoh peninggalan sejarah bercorak HindBudha di berbagai daerah di Indonesia;
·           Mendeskripsikan ciri-ciri peninggalan sejarah bercorak Hindu-Buddha di berbagai daerah di Indonesia;

Pendalaman Materi/Konsep
Setelah tersebarnya agama dan kebudayaan Hindu- Buddha, terbentuk pula sistem kerajaan berbasis agama. Pada masa kerajaan-kerajaan inilah, tradisi agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia berkembang dengan pesat. Berikut kronologis perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.

1.         Kerajaan Kutai
Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan ini terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Informasi mengenai kerajaan ini diperoleh dari tujuh prasasti yang disebut yupa berbentuk menhir atau tiang batu yang ditemukan di Muarakaman tepi Sungai Mahakam. Yupa ini menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang diperkirakan ditulis pada 400 M.
Dari segi bahasa, huruf, dan isi tulisannya, pengaruh India dalam yupa Kutai sangat kuat. Hal tersebut juga merupakan bukti tertulis pertama yang menunjukkan adanya pengaruh Hindu di Indonesia. Pada salah satu yupa, diperoleh berita tentang nama raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Kutai, yaitu Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman. Nama Kudungga sebagai pendiri kerajaan merupakan nama Indonesia asli, namun anak-anaknya yang merupakan penggantinya menggunakan nama India.
Salah satu yupa lain, memuat berita tentang Raja Mulawarman yang disebut sebagai seorang raja besar yang mulia dan baik budinya. Kebaikan raja tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian hadiah 1000 ekor sapi dan hadiah tanah kepada golongan Brahmana. Dari berita yupa tersebut dapat juga diketahui bahwa pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan yang kaya dan makmur.

2.         Kerajaan Tarumanagara
Kerajaan Hindu tertua kedua setelah Kerajaan Kutai, yaitu Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Kerajaan tersebut didirikan sekitar 400 M. Kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan bercorak Hindu dengan salah satu rajanya bernama Purnawarman. Wilayah ke rajaannya meliputi hampir seluruh Jawa Barat, yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor, dan Cirebon.
Bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara, yaitu ditemukan nya batu bertulis (prasasti) di daerah Bogor, Jawa Barat di tepi Sungai Ciaruteun dekat Muara Cisadane. Dalam batu bertulis ini terdapat gambar telapak kaki, seperti telapak kaki Dewa Wisnu. Selain itu, terdapat tulisan dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta dalam bentuk syair.
Dalam prasasti yang ditemukan di daerah Tugu, Cilincing, Bekasi, tertulis bahwa Raja Purnawarman
memerintahkan untuk membuat saluran air Sungai Gomati sepanjang 6.612 busur (12 km) dalam waktu 21 hari. Setelah selesai, diselengarakan selamatan dengan memberikan 1000 ekor sapi kepada para Brahmana.
Prasasti lain yang membuktikan keberadaan Kerajaan Tarumanagara, yaitu sebagai berikut.
a.         Prasasti Kebon Kopi ditemukan di Cibungbulang, Bogor. Pada prasasti ini terdapat gambar dua telapak kaki gajah Airawata, gajah kendaraan Dewa Wisnu.
b.         Prasasti Pasir Koleangkak (Prasasti Jambu) ditemukan di daerah perkebunan Jambu sekitar 30 km dari Kota Bogor. Prasasti ini berisi sanjungan kebesaran, kegagahan, dan keberanian Raja Purnawarman.
c.         Prasasti Cidanghiang atau Lebak ditemukan di Desa Lebak di pinggir Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Prasasti ini berisi kata-kata pujian kebesaran dan keagungan Raja Purnawarman.
d.         Prasasti Pasir Awi, Leuwiliang, Bogor. Isi prasasti ini belum bisa dibaca.
e.         Prasasti Muara Cianten, Bogor. Isi prasasti ini belum bisa dibaca.

Keseluruhan prasasti yang ditemukan tersebut ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Selain prasasti, dijumpai pula arca. Rajarsi termasuk arca tua. Tempat ditemukannya arca ini tidak diketahui dengan pasti, hanya diperkirakan ditemukan di daerah Jakarta. Selanjutnya, di Cibuaya ditemukan juga dua buah arca Wisnu yang mempunyai kesamaan dengan arca di Semenanjung Melayu, Kamboja, dan Thailand.
Berdasarkan ketujuh buah prasasti, di ketahui kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Tarumanagara berpusat pada ke giatan pertanian. Kehidupan ekonomi penduduk kerajaan diketahui dari catatan perjalanan penjelajah Cina Fa Hien pada 414 M. Ia menyebutkan, di Pulau Jawa (To-lomo= Taruma) sudah ada masyarakat penganut agama Hindu di bidang pertanian, peternakan, perburuan binatang, dan perdagangan cula badak, kulit penyu, dan perak.

3.         Kerajaan Malayu

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah me ngenai letak ibu Kota Malayu. Ada yang
mengatakan kerajaan ini berpusat di Jambi di sepanjang Sungai Batanghari, ada juga yang mengata kan ber pusat di Semenanjung Malaysia.
Menurut I-Tsing, Kerajaan Malayu telah ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya sejak 692 M. Informasi tentang kerajaan ini baru dapat dilacak kembali dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama. Di sebut kan bahwa Raja Singhasari, yaitu Kertanegara mengadakan Eskpe disi Pamalayu pada 1275 M untuk menaklukkan Kerajaan Malayu di Sumatra.
Pada pertengahan abad ke-14 M, berita tentang Kerajaan Malayu muncul pada saat pemerintahan
Adityawarman. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Malayu dapat meluaskan kekuasaan nya ke daerah
Minangkabau pada 1347 M. Setelah turun takhta pada 1375 M, Adityawarman digantikan oleh Anangwarman. Namun, informasi mengenai masa pemerintahan Anangwarman tidak banyak diketahui.

4.         Kerajaan Sriwijaya
Informasi tentang Kerajaan Sriwijaya diperoleh dari sumber dalam dan luar negeri. Sumber yang berasal dari dalam negeri berupa prasasti-prasasti yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta bercampur dengan bahasa Melayu Kuno yang tersebar di daerah Sumatra Selatan dan Pulau Bangka.

Prasasti yang membuktikan keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut.
a.         Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Batang dekat Kota Palembang berangka tahun 683 M. Prasasti ini menjelaskan bahwa ada seorang bernama Dapunta Hyang yang melakukan perjalanan ke Minangatamwan dengan menaiki perahu yang membawa 20.000 tentara. Dalam perjalanan tersebut, mereka berhasil menaklukkan daerah yang dilaluinya serta membawa kemenangan dan kemak muran bagi Kerajaan Sriwijaya.
b.         Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat Kota Palembang, yakni di Kota Talang Tuo dengan angka tahun 684 M. Prasasti tersebut menceritakan tentang pembuatan taman yang bernama Srikerta atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Prasasti ini merupakan peninggalan agama Buddha Mahayana dan ditulis dalam bentuk syair.
c.         Prasasti Telaga Batu ditemukan di daerah Palembang dan berangka tahun 683 M. Prasasti ini menceritakan kutukan-kutukan atas kejahatan yang dilakukan karena tidak taat kepada raja serta tentang penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya.
d.         Prasasti Palas Pasemah ditemukan di daerah Palas Pasemah tepi Sungai Anak Pisang, anak Sungai Sekapung di wilayah Lampung Selatan. Prasasti ini menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya me nundukkan daerah Lampung Selatan pada akhir abad ke-7 M.
e.         Prasasti Karang Berahi ditemukan di hulu Sungai Merangin yang merupakan cabang Sungai Batanghari. Diperkirakan prasasti ini dibuat pada 686 M.
f.          Prasasti Kota Kapur ditemukan di Sungai Menduk di Pulau Bangka. Prasasti yang ber angka tahun 686 M ini berisi usaha Kerajaan Sriwijaya untuk menaklukkan Jawa yang tidak setia kepada Kerajaan Sriwijaya.
Dari ketiga prasasti pertama yang ditemukan di dekat Kota Palembang menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya bukan di Palembang, tetapi di sekitar hulu Sungai Indragiri, di sekitar aliran Sungai Batangkuantan. Dua prasasti terakhir me nunjukkan bahwa Pulau Bangka dan Jambi Hulu telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya pada 686 M. Adapun sumber asing mengenai Kerajaan Sriwijaya diperoleh dari berita-berita para pengembara Cina, India (Prasasti Nalanda dan Cola), Sri Lanka, Arab, Persia, dan Prasasti Ligor di Tanah Genting Kra Malaysia yang berangka tahun 775 M.
Kerajaan Sriwijaya mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Ditandai dengan tumbuh nya perdagangan di perairan Sriwijaya sebagai jalur perdagang an internasional. Sementara itu, di bidang agama Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat kajian dan pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara. Salah seorang guru agama Buddha Sriwijaya yang terkenal ialah Sakyakirti. Di kerajaan ini pula, I-Tsing mener jemahkan naskah-naskah suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
Pada masa keemasannya, wilayah Kerajaan Sriwijaya meliputi Sumatra, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bangka, Belitung, Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan. Walaupun demikian, hubung an baik dengan negaranegara tetangganya tidak selamanya bisa dipertahankan. Seperti halnya pada abad ke-11 M, Sriwijaya mendapat serangan dari Kerajaan Cola, India. Dalam serangan itu, Raja Sriwijaya Sanggrama Wijayatunggawarman ditawan. Namun, kerajaan ini masih tetap bertahan dan dapat menguasai jalur dagang di Selat Malaka.
Pada 1275 M, salah satu kerajaan taklukkan Sriwijaya, yaitu Kerajaan Malayu berhasil dikuasai Singhasari, yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui Ekspedisi Pamalayu. Raja Kertanegara berhasil menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Malayu. Kondisi Kerajaan Sriwijaya yang melemah tidak dapat mencegah negara taklukkannya menjalin hubungan dengan negara saingannya di Jawa. Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan oleh Kerajaan Sukhodaya dari Thailand di bawah Raja Kamheng yang berhasil merebut Semenanjung Malaysia dan menguasai Selat Malaka. Pada akhir abad ke-14 M, Sriwijaya benar-benar runtuh akibat serangan Kerajaan Majapahit dari Jawa.

5.         Kerajaan Kaling dan Kanjuruhan
Kerajaan Kaling adalah kerajaan bercorak Buddha di Jawa Tengah yang berdiri sekitar abad ke-7 M. Ratunya bernama Sima dan memerintah sekitar 674 M. Sumber yang menunjukkan keberadaan kerajaan ini adalah sumber dari Cina mengenai kunjungan seorang pendeta bernama Hwi-Ning (664–666 M) ke Holing, sebutan Cina untuk kerajaan ini. Selama tiga tahun, pendeta itu tinggal di Kaling. Dia sempat menerjemahkan Kitab agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Penerjemahan Kitab tersebut mendapat bantuan dari seorang pendeta terkemuka Kaling bernama Jnanabhadra.
Berita dari Cina menyebutkan bahwa pada 742–755 M Raja Kiyen sebagai penguasa Holing memerintahkan pemindahan kerajaan ke Desa Kejuron, Jawa Timur yang menandai berdirinya Kerajaan Kanjuruhan. Kerajaan Kanjuruhan mempunyai raja bernama Dewa Simwa. Kekuasaan Dewa Simwa diwariskan kepada anaknya yang bernama Limwa. Limwa yang kemudian disebut Gajayana membangun tempat pemujaan Dewa Agastya. Keterangan ini diperoleh dari Prasasti Dinoyo sekitar 760 M. Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan yang masih tersisa adalah Candi Badut.

6.         Kerajaan Mataram Hindu
Awal abad ke-8 M, di Jawa Tengah muncul Kerajaan Mataram Hindu yang menganut agama Hindu Syiwa. Raja pertamanya ialah Sanna yang terkenal cakap dan bijaksana dalam menjalankan pemerintahan. Pada masa itu, bidang pertanian merupakan salah satu bidang yang berhasil mencapai kemajuan. Mataram kemudian berkembang menjadi kerajaan penghasil beras terbesar di Pulau Jawa. Selain itu, kerajaan ini juga banyak menghasilkan emas. Namun setelah Raja Sanna meninggal, rakyat kehilangan seorang pelindung sehingga Mataram mulai mengalami kemunduran.
Di dalam Kerajaan Mataram Hindu terdapat dua keluarga atau wangsa yang berkuasa. Keluarga tersebut, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.
a.         Wangsa Sanjaya
Di daerah Sungai Progo di Gunung Wukir, Desa Canggal sebelah barat daya Kota Magelang ditemukan sebuah prasasti, yaitu Prasasti Canggal. Prasasti ini berangka tahun 732 M dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Isi Prasasti Canggal menjelaskan bahwa di Desa Kunjarakunja telah didirikan sebuah lingga yoni (lambang Dewa Syiwa) oleh Raja Sanjaya. Dengan ditemukannya prasasti ini, diketahui bahwa raja yang terkenal saat itu ialah Raja Sanjaya. Raja Sanjaya berusaha keras untuk mengembalikan masa kejayaan Kerajaan Mataram seperti ketika dipimpin oleh pamannya, yaitu Raja Sana.
Raja Sanjaya menjalankan pemerintahan nya dengan berwibawa. Sanjaya juga terkenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana, serta taat kepada agama Hindu Syiwa. Sebagai seorang ahli Kitab suci, Raja Sanjaya menganjurkan agar rakyatnya mempelajari serta memperdalam ilmu pengetahuan dan agama. Mataram di bawah pemeritahan Raja Sanjaya semakin masyhur dan bertambah luas wilayahnya. Oleh karena keberanian dan keber hasilannya, Sanjaya
memperoleh gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Keterangan tentang hal tersebut terdapat dalam Prasasti Kedu atau Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 M. Prasasti ini juga menjelaskan bahwa raja-raja Mataram sampai abad ke-10 M merupakan keturunan Wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu.
Kehidupan keagamaan Hindu Syiwa pada masa
peme rintahan Wangsa Sanjaya terbina dengan baik.
Hal ini menarik banyak pendeta Hindu India yang
berkunjung ke Kerajaan Mataram serta menetap di istana
sebagai penasihat keagamaan. Keadaan ini membuka
kesempatan bagi rakyat Mataram untuk belajar serta
memperda lam ajaran Hindu Syiwa.
Peninggalan berupa Candi Sewu, Candi Prambanan,
dan kompleks Candi Dieng sebagai tempat pemujaan
dan kuburan raja-raja Mataram menunjukkan bahwa
agama Hindu berkembang dengan baik. Kompleks
Candi Dieng merupa kan kelompok candi yang istimewa.
Seni arsitekturnya merupakan perpaduan corak Hindu-
Jawa yang dilengkapi rumah pendeta Brahmana untuk
penginapan para pengembara yang memasuki Kerajaan
Mataram.
b. Wangsa Syailendra
Pengganti Raja Sanjaya ialah Rakai Panangkaran. Masa
pemerintahannya diwarnai berbagai pemberontakan dan
kerusuhan. Pada 775–850 M, Rakai Panangkaran tidak
mampu mem per tahan kan diri lagi dan dapat ditaklukkan
oleh Wangsa Syailendra. Pusat pemerintahan kemudian
dipindahkan ke daerah Bagelen dekat Yogyakarta.
Peristiwa ini diketahui dari Prasasti Kalasan yang
ditemukan di Desa Kalasan, sebelah timur Yogyakarta
yang diperkirakan dibuat pada 778 M.
Hal yang menarik dalam Prasasti Kalasan ini, yaitu
hurufnya ditulis dalam bahasa Sanskerta dan huruf
Pranagari yang berasal dari India Utara. Hal ini berbeda
dengan prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja
Wangsa Sanjaya yang menggunakan huruf Pallawa yang
berasal dari India Selatan.
Di bawah kekuasaan raja-raja Wangsa Syailendra
yang menganut agama Buddha, Kerajaan Mataram
kembali mengalami masa kejayaan. Ilmu pengetahuan
rakyat Mataram berkembang pesat. Demikian pula
kesenian, terutama seni pahat yang banyak mendapat
perhatian masyarakat.
Menurut Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang
dibuat pada masa pemerintahan Watukara Dyah Balitung,
silsilah raja-raja Mataram ialah sebagai berikut:
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan,
4) Sri Maharaja Rakai Warak,
5) Sri Maharaja Rakai Garung,
6) Sri Maharaja Rakai Pikatan,
7) Sri Maharaja Rakai Kayuwangi,
8) Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan
9) Sri Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung.
Selain dari silsilah tersebut, Kerajaan Mataram
juga dipimpin oleh seorang raja bernama Indra yang
berhasil mengangkat Mataram semakin mahsyhur.
Berita ini terdapat dalam prasasti yang dibuat pada 782
M, yaitu Prasasti Klurak. Prasasti ini ditulis dalam huruf
Pranagari dengan bahasa Sanskerta.
Pada masa pemerintahan Raja Indra yang berlangsung
sekitar tahun 780 M, Mataram berhasil mempersatukan
Kerajaan Sriwijaya. Pemerintahan Raja Indra ini terus
berlangsung sampai sekitar 850 M. Pada masa pemerintahannya
yang bergelar Sri Sanggramadananjaya dibangun
tempat-tempat suci, seperti Candi Sri, Candi Pawon, dan
Candi Mendut sebagai tempat pemujaan pemeluk agama
Buddha.
Selanjutnya, Kerajaan Mataram dipimpin oleh
Samaratungga. Pada masa pemerintahan raja inilah Candi
Borobudur dibangun. Sepeninggal Raja Samaratungga,
kekuasaan Wangsa Syailendra mulai mengalami kemunduran.
Raja Samaratungga mem punyai dua anak yang berlainan
ibu, yaitu seorang putri bernama Pramodhawardhani
dan seorang putra bernama Balaputradewa. Pada 832 M,
Pramodhawardhani menikah dengan Rakai Pikatan seorang
raja dari Wangsa Sanjaya.
Perkawinan antara Pramodhawardhani dan Rakai
Pikatan tidak disetujui oleh Balaputradewa. Terjadilah
perselisihan antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa
pada 856 M. Rakai Pikatan dalam peperangan berhasil
mengalahkan Balaputradewa. Balaputradewa bersama
pengikutnya melarikan diri ke Swarnadwipa (Pulau
Sumatra) dan berhasil menguasai Sriwijaya.
Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya kembali menguasai
Kerajaan Mataram yang meliputi daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Candi-candi untuk memuja dewa Buddha dan
Hindu dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan,
misalnya Candi Roro Jongrang atau dikenal sebagai Candi
Prambanan.
Pengganti Rakai Pikatan, yaitu Rakai Kayuwangi atau
Empu Kayuwangi yang memerintah pada 856–886 M. Rakai
Kayuwangi adalah seorang pemeluk agama Hindu Syiwa.
Kedudukan Rakai Kayuwangi kemudian digantikan oleh
Dyah Balitung yang memerintah pada akhir abad ke-9 M
sampai dengan awal abad ke-10 M. Dyah Balitung bergelar
Rakai Watukara dan memerintah di sekitar Sungai Brantas,
Jawa Timur. Raja-raja yang memerintah Kerajaan Mataram
selanjutnya, yaitu Raja Daksa (910–919 M), Raja Tulodong
(919–924 M), dan Raja Wawa (924–929 M).
7. Kerajaan Medang Kamulan dan Jenggala
Akhir abad ke-9 M, di Indonesia terdapat dua kerajaan
besar, yaitu Mataram di Pulau Jawa dan Sriwijaya di Pulau
Sumatra. Kedudukan Kerajaan Sriwijaya semakin kuat dan
berhasil menguasai hampir seluruh Kepulauan Nusantara
dengan politik perdagangan dan ekspansinya. Armada
laut Kerajaan Sriwijaya terkenal kuat dalam pengamanan
perairan Nusantara, terutama Selat Malaka. Keadaan ini
tentu saja mengancam kedudukan Kerajaan Mataram. Oleh
karena itu, Kerajaan Mataram dipindahkan ke wilayah
sekitar Kali Brantas, Jawa Timur oleh Empu Sindok.
Kerajaan yang didirikan pada 929 M oleh Empu
Sindok dari Wangsa Isana merupakan leluhur bagi
kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Kekuasaan kerajaan
yang dipimpin oleh Empu Sindok yang bergelar Sri
Maharaja Rakai I Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa
ini meliputi Kota Sidoarjo sampai Kediri sekarang.
Dalam menjalankan pemerintahannya Empu Sindok
dibantu oleh istrinya Dyah Kebi, putri Raja Wawa.
Empu Sindok memerintah dengan adil dan
bijaksana. Ia berusaha untuk memakmurkan rakyatnya,
di antaranya membangun bendungan untuk pengairan.
Dalam menjalankan kehidupan keagamaan, Empu
Sindok memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk
memeluk agama yang disukainya, baik Hindu maupun
Buddha. Oleh karena itu, rakyatnya merasa hidup
aman dan tenteram secara berdampingan. Perhatiannya
terhadap masalah agama sangat besar. Hal ini terbukti
dengan dibuku kannya Kitab agama Buddha, Sang
Hyang Kamahayanikan yang menandai dianutnya agama
Buddha Tantrayana. Empu Sindok sangat menghormati
pemeluk agama lainnya, meskipun beliau sendiri
beragama Hindu Syiwa.
Setelah Empu Sindok wafat, ia digantikan oleh
anak perempuannya bernama Sri Isanatunggawijaya
yang menikah dengan Lokapala. Dari hasil perkawinan
ini, lahirlah Makutawangsawardhana yang
menggantikan ibunya sebagai raja Medang. Kelak
dari Makutawangsawardhana, lahirlah seorang putra
bernama Dharmawangsa Teguh dan Mahendradatta yang
menikah dengan Raja Udayana dari Bali dan menurunkan
seorang anak laki-laki bernama Airlangga.
Pada 1016 M, Dharmawangsa Teguh meninggal
akibat serangan dari Raja Wurawari saat menikahkan
putrinya dengan Airlangga, putra Raja Udayana dari Bali.
Peristiwa ini terkenal dengan sebutan pralaya. Dalam
pralaya tersebut, Airlangga dapat melarikan diri bersama
para pengikutnya di bawah pimpinan Narottama. Mereka
bersembunyi bersama para pertapa di hutan Gunung
Pananggungan, Wonogiri. Baru pada 1019 M, Airlangga
dinobatkan sebagai raja pengganti Dharmawangsa
Teguh dengan gelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara
Dharmawangsa Airlangga Anantawikramattunggadewa.
Sebelum Airlangga memindahkan ibu kota kerajaan
ke Kahuripan (Jenggala), ia berhasil mengalahkan
musuh-musuhnya dan dapat merebut kembali seluruh
wilayah kerajaan yang memang dianggap menjadi
haknya. Ia berhasil memulihkan wibawa Wangsa Isana
dengan menaklukkan musuh-musuhnya, antara lain
Raja Bhisaprabhawa pada 1029 M, Raja Wijayawarman
dari Wengker pada 1030 M, Raja Adhamapanuda pada
1031 M, dan Raja Wurawari pada 1035 M. Airlangga
pun akhirnya dapat kembali menguasai seluruh Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Beberapa hal penting dalam masa pemerintahan
Airlangga, antara lain, diperbaikinya Pelabuhan
Hujung Galuh di Muara Kali Brantas dan pembangunan
bendungan besar di Waringin Sapta. Pelabuhan
Tuban dan Hujung Galuh kemudian menjadi bandar
perdagangan yang ramai. Banyak pedagang asing
singgah di kedua pelabuhan itu, seperti pedagang dari
India, Burma, Kamboja, dan Champa.
Airlangga membangun bendungan besar di
Waringin Sapta pada 1037 M. Prasasti tersebut menyebut
kan berita mengenai meluapnya Kali Brantas
yang mengakibatkan tanaman rusak, lalu lintas sungai
terganggu, dan hubungan dengan luar negeri terputus.
Akhirnya, Airlangga memerintah kan untuk mem bangun
bendungan Waringin Sapta agar aliran air Kali Brantas
dapat kembali mengalir ke Utara.
Kejayaan Airlangga pada masa pemerintahannya
di cerita kan secara simbolik oleh Empu Kanwa dalam
Kitab Arjunawiwaha. Isi Kitab tersebut merupakan
kiasan terhadap hasil jerih payah Airlangga. Airlangga
kemudian mengundur kan diri sebagai raja untuk
menjadi Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada 1049
M dan disemayamkan di kompleks Candi Belahan di
lereng Gunung Penanggungan.
8. Kerajaan Kediri
Sejarah berdirinya Kerajaan Kediri berawal dari
pembagian Kerajaan Jenggala oleh Raja Airlangga untuk
menghindari perpecahan di antara kedua putranya.
Pembagian kerajaan ini dilakukan oleh Empu Bharada.
Kerajaan Jenggala kemudian dibagi dua, yaitu Kerajaan
Jenggala dengan ibu kota Kahuripan dan Kerajaan Kediri
dengan ibu kota Daha. Kedua kerajaan ini dibatasi oleh Kali
Brantas. Akan tetapi, perpecahan tetap saja terjadi karena
setelah Airlangga wafat pada 1049 M, terjadi perang saudara. Kerajaan Kediri lebih unggul dibandingkan dengan Kerajaan
Jenggala. Samarawijaya kemudian menjadi raja Kediri
setelah mengalahkan Mapanji Garasakan dari Jenggala.
Raja Kediri pengganti Samarawijaya ialah Sri
Bameswara. Pada masa pemerintahannya, raja ini
banyak meninggalkan prasasti. Namun, prasasti tersebut
banyak berisi mengenai urusan keagamaan sehingga
perkembangan pemerintahannya tidak dapat diketahui.
Usaha memperbaiki perpecahan akibat perang
saudara dilakukan pada 1120 M. Pada masa pemerintahan
Kameswara dengan cara menikahi Candrakirana putri
dari Kerajaan Jenggala. Peristiwa ini digambarkan Empu
Dharmaja dalam Kitab Smaradhana.
Kerajaan Kediri mencapai kejayaannya pada masa
pemerintahan Raja Jayabaya (1135–1157 M) hingga dikenal
sampai ke Tiongkok. Berita ini dibawa oleh seorang
saudagar Cina bernama Khou Ku Fei. Ia menceritakan
bahwa pada 1200 M, Kediri adalah kerajaan yang makmur
dan telah memiliki pemerintahan yang diatur oleh hukum.
Pada masa itu, Jayabaya banyak menghasilkan karya sastra
mengagumkan, seperti Kitab Bharatayudha yang diubah oleh
Empu Sedah dan Empu Panuluh. Kitab ini memastikan
adanya penyatuan di antara dua kerajaan yang sebelumnya
terpisah. Namun, yang paling terkenal dari Raja Jayabaya
adalah ramalannya yang terkenal sampai sekarang dan
terhimpun dalam suatu Kitab, yaitu Jongko Jayabaya.
9. Kerajaan Singhasari
Pertentangan dan perpecahan di kalangan istana
Kerajaan Kediri mulai muncul. Penyebabnya, kaum
Brahmana merasa tidak puas atas keputusan raja
yang menempatkan posisi Brahmana hanya sebagai
penasihat. Hal ini berarti posisi kaum Brahmana berada
di bawah kaum Ksatria. Akhirnya, banyak pendeta yang
meninggalkan istana dan membentuk kekuatan baru.
Di lain pihak, berkat bantuan seorang pendeta bernama
Lohgawe, seorang pemuda bernama Ken Arok diterima
bekerja di Tumapel, Kediri. Ia bekerja pada seorang akuwu
(bupati) bernama Tunggul Ametung. Akibat tergoda oleh
kecantikan Ken Dedes istri Tunggul Ametung, Ken Arok
berniat membunuh Tunggul Ametung dan memperistri
Ken Dedes. Untuk melak sanakan rencananya, Ken
Arok memesan sebuah keris kepada Empu Gandring.
Setelah berhasil membunuh Tunggul Ametung, ia
segera mengangkat dirinya menjadi Bupati Tumapel dan
memperistri Ken Dedes. Para pendeta dan Brahmana yang meninggalkan
istana kemudian bergabung dengan Ken Arok di
Tumapel. Dengan bantuan para pendeta dan Brahmana,
Ken Arok melakukan penyerangan ke Kediri.
Dalam sebuah peperangan di Desa Ganter pada 1222
M, Ken Arok berhasil mengalahkan Kediri yang saat itu
dipimpin oleh Raja Kertajaya. Seluruh daerah Kediri
jatuh ke tangan kekuasaan Ken Arok yang kemudian
mendirikan Kerajaan Singhasari. Ia menjadi raja dengan
gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi, sedangkan
Ken Dedes yang saat itu sedang mengandung anak
dari Tunggul Ametung yang kelak bernama Anusapati
diangkat sebagai permaisurinya.
Perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes menurunkan
seorang putra bernama Mahisa Wong Ateleng. Ken
Arok juga mempunyai selir bernama Ken Umang yang
melahirkan anak bernama Tohjaya.
Namun, masa pemerintahan Ken Arok tidak lama. Pada
1247 M, ia dibunuh oleh Anusapati yang telah mengetahui
bahwa ayahnya dibunuh oleh Ken Arok. Anusapati sendiri
kelak dibunuh oleh Tohjaya dengan keris yang sama,
yaitu keris buatan Empu Gandring. Ken Arok diabadikan
di Desa Kagenengan sebelah selatan Singhasari dalam
bangunan suci agama Buddha Syiwa. Adapun Anusapati
dimakamkan di Candi Kidal. Sementara itu, Ken Dedes
tidak diketahui waktu meninggal dan makamnya. Namun,
sosoknya diwujudkan dalam bentuk arca Prajnaparamita
yang sangat indah.
Putra Anusapati, Ranggawuni yang bergelar
Wisnuwardhana berhasil memadamkan kekacauan politik
di Singhasari. Ia naik takhta pada 1248 M didampingi oleh
Mahisa Campaka, sepupunya yang menjadi anggabaya
dan bergelar Narasinghamurti.
Ranggawuni kemudian menobatkan putranya
yang bernama Kertanegara pada 1254 M sebagai
yuvaraja atau raja muda. Pengangkatan ini bertujuan
mempersiapkan Kertanegara menjadi seorang raja yang
cakap. Ranggawuni sendiri memerintah sampai 1268 M.
Ranggawuni dimakamkan di Desa Waleri dengan simbol
arca Syiwa yang sekarang dikenal sebagai Candi Jago di
Desa Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Kerajaan Singhasari mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Kertanegara. Beliau mempunyai
pan dangan yang luas dalam berbagai bidang, terutama
dalam bidang politik, pemerintahan, dan agama. Ia juga raja
yang sangat tegas dan pemberani yang ditunjukkan dengan
sikap dan tindakannya, antara lain sebagai berikut. a. Kertanegara mengganti Mahapatih Raganata dengan
Apanji Aragani. Pergantian ini dilatarbelakangi oleh
ketidak setujuan Raganata terhadap cita-cita Kertanegara
untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah
Kerajaan Singhasari (politik Cakrawalamandala) untuk
mengimbangi ekspansi kekuatan Kerajaan Mongol di
bawah Kublai Khan di Nusantara. Raganata selanjutnya
ditugaskan menjadi adhyaksa di Tumapel.
b. Pada 1275 M, Kertanegara mengirimkan ekspedisi
militer bernama Pamalayu ke Jambi. Ekspedisi
ini bertujuan menaklukkan Kerajaan Malayu.
Kertanegara juga berhasil menaklukkan Bali (1284 M),
Sunda (1289 M), Pahang (Malaya), dan Bakulapura
(Kalimantan Barat). c. Kerajaan Singhasari menjalin hubungan persahabatan
dengan Kerajaan Campa. Hubungan ini ditingkatkan
menjadi hubungan kekeluargaan dengan menikahkan
adik Kertanegara, Ratu Tapasi dengan Raja Campa.
Pada 1280 M, Kublai Khan berkuasa di daratan
Cina bermaksud menguasai Nusantara. Ia mengirimkan
utusan ke Singhasari agar Kertanegara sebagai Raja
Singhasari datang menghadap ke Cina. Hal ini tentu
saja ditolak oleh Kertanegara yang memang sudah lama
mengetahui rencana Kublai Khan.
Pada 1281 M, Kublai Khan mengirimkan lagi utusannya
dengan maksud yang sama. Akan tetapi, Kertanegara
tetap menolak. Sekitar 1289 M, Kublai Khan mengirimkan
utusan bernama Meng-Ki dengan maksud yang sama.
Namun, utusan ini pun ditolaknya. Kertanegara menyadari
bahwa tindakannya sangat menghina Kublai Khan dan
akan menimbulkan pertempuran. Namun, ia sudah
mempersiapkan diri menghadapi serbuan dari Mongol.
Sementara itu, di Kerajaan Singhasari terjadi kemelut
akibat penyerangan Jayakatwang, cucu Kertajaya (Raja
Kediri terakhir) yang menewaskan Kertanegara pada1292 M. Akhirnya, Jayakatwang naik takhta menjadi Raja
Singhasari. Pada saat penyerangan tersebut, Raden Wijaya
menantu Kertanegara dapat meloloskan diri ke Madura
dan mendapat pertolongan dari Bupati Sumenep Wiraraja.
Bertepatan dengan selesainya persiapan untuk
menyerang Kediri, pasukan Kublai Khan datang
menyerang Singhasari. Mereka mengira Singhasari dipimpin oleh Kertanegara yang telah menghinanya.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya segera bergabung dengan pasukan Kublai Khan untuk
menyerang Singhasari. Dengan mudah, tentara Mongol
beserta pasukan Raden Wijaya mengalahkan Singhasari.
Setelah berhasil mengalahkan Singhasari disertai
tewasnya Jayakatwang, pasukan tentara Mongol berpesta
merayakan kemenangannya. Namun, mereka diserang
pasukan Raden Wijaya. Pasukan Mongol hancur dan
sisanya pulang ke negerinya. Pada 1293 M, Raden Wijaya
mendirikan Kerajaan Majapahit yang terkenal.
10. Kerajaan Majapahit
Setelah menjadi raja di Kerajaan Majapahit, Raden
Wijaya bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana dan memerintah
selama 16 tahun (1293–1309 M). Untuk memperkuat
kedudukannya, Sri Kertarajasa menikahi empat orang putri
Kertanegara, yaitu Tribuwana (Prameswari), Dyah Duhita,
Prajnaparamita, dan Dyah Gayatri. Hasil pernikahan dengan
Gayatri, Kertarajasa dikaruniai dua anak perempuan, yaitu
Tribhuwanattunggadewi (Bhre Kahuripan) dan Rajadewi
Maharajasa (Bhre Daha) dan satu anak laki-laki dari
Prameswari, yaitu Jayanegara.
Masa pemerintahan Kertarajasa terjadi berbagai
kemelut politik dan pemberontakan yang dipimpin oleh
Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi.
Setelah Kertarajasa turun takhta dan digantikan
oleh Jayanegara (Kala Gemet), pemberontakan tidak
berhenti. Bahkan bertambah, antara lain pemberontakan
yang dipimpin oleh Juru Demung, Gajah Biru, Semi, dan
Kuti. Di antara pemberontakan tersebut, yang paling
berbahaya, adalah pemberontakan yang dilakukan
oleh Kuti. Kuti berhasil menduduki istana Majapahit
sehingga membuat Jayanegara menyingkir ke Desa
Badender. Dalam kemelut itu, muncul seorang bekel
bhayangkari (kepala pasukan pengawal raja), yaitu Gajah
Mada yang berhasil menumpas pemberontakan Kuti.
Tahta Majapahit akhirnya dapat terselamatkan. Pada 1328 M, Jayanegara dibunuh oleh Tanca seorang
tabib istana. Ia kemudian dimuliakan dengan arca Wisnu
di dalam pura di Silapetak dan Bubat serta arca Amogasidi
di Sokhalia. Setelah wafat, Jayanegara digantikan oleh
Tribhuwanattunggadewi. Pada masa pemerintahan
Tribhuwanattunggadewi ini pun terjadi pem berontakan.
Pemberontakan terbesar adalah pemberontakan Sadeng.
Gajah Mada kembali menumpas pemberontakan ini
pada 1331 M. Atas jasanya, Gajah Mada diangkat
sebagai mahapatih di bawah perintah ratu. Dalam
acara pengangkatan nya, Gajah Mada mengucapkan
Sumpah Palapa. Sumpah tersebut berisi pernyataannya
untuk tidak akan amukti palapa sebelum dia dapat
menundukkan seluruh Nusantara, yaitu Gurun (Maluku),
Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, dan Tumasik. Tribhuwanattunggadewi memerintah selama 21
tahun dan mengundurkan diri pada 1350 M. Ia kemudian
digantikan oleh putranya, Hayam Wuruk. Hayam Wuruk
naik takhta pada 1350 M dengan gelar Sri Rajasanegara. Ia
memerintah selama 39 tahun. Saat itu, jabatan mahapatih
tetap dipegang oleh Gajah Mada. Keduanya berperan besar
membawa Kerajaan Majapahit menuju puncak kejayaannya.
Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, daerah kekuasaan
Kerajaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara dengan
beberapa daerah di luar Indonesia, antara lain Kedah,
Pahang, Johor, dan Brunei Darussalam.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit
banyak mendirikan bangunan suci, seperti Candi
Panataran di Blitar, Candi Sukuh di lereng Gunung
Lawu, dan Candi Kedaton di Besuki. Di bidang seni
sastra, banyak para pujangga yang melahirkan karya-karya bermutu tinggi, antara lain Negarakertagama karya
Empu Prapanca, Arjunawijaya dan Sutasoma karya Empu
Tantular, Kuncarakarna, Parthayajna, Pararaton, Ranggalawe,
Panjiwijayakrama, Sorandaka, dan Sundayana.
Kebesaran Majapahit lambat laun mengalami kesuraman
pada masa akhir kekuasaan Hayam Wuruk. Kematian
Gajah Mada pada 1364 M dan ibu Raja Hayam Wuruk,
Tribhuwanatunggadewi menyebabkan Raja Hayam Wuruk
kehilangan pegangan dalam menjalankan pemerintahannya.
Intrik politik di antara keluarga raja kembali terjadi setelah
Hayam Wuruk meninggal pada 1389 M.
Berikut beberapa hal yang menyebabkan Kerajaan
Majapahit mengalami kemunduran.
a. Setelah meninggalnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada,
tidak ada lagi pemimpin yang cakap. Raja-raja pengganti
Hayam Wuruk, seperti Wikramawardhana dan Suhita
tidak mampu secara tegas menindak pembangkangan
yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi.
b. Terjadi perselisihan keluarga yang berlarut-larut.
Perselisihan ini berawal dari meletusnya perang
saudara (1401–1406 M) yang disebut Perang Paregreg
antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi.
c. Akibat kekosongan kekuasaan sepeninggal Hayam
Wuruk, banyak kerajaan bawahan yang melepaskan
diri dan menjadi negara merdeka.
d. Adanya serangan dan perebutan kekuasaan oleh
pasukan Kediri ke Majapahit yang saat itu dikuasai
oleh Bhre Wirabhumi pada 1478 M. Peristiwa ini
diperingati dalam suatu candrasengkala (semacam
kalimat sandi), yaitu sirna ila kertaning bhumi yang
berarti 1400 saka atau sama dengan tahun 1478 M.
e. Munculnya Kesultanan Islam Demak dan Malaka yang
mengambil alih pusat perdagangan di Nusantara.
f. Keberadaan Kerajaan Majapahit diketahui masih ada
sampai abad ke-16. Namun, kerajaan ini tidak memiliki
pengaruh lagi. Kerajaan ini akhirnya hancur oleh
serangan pasukan Demak di bawah pimpinan Adipati
Unus.
11. Kerajaan Bali
Munculnya Kerajaan Bali diketahui dari tiga buah
prasasti yang ditemukan di Belonjong (Sanur), Panempahan,
dan Maletgede yang berangka tahun 913 M. Ketiga prasasti
tersebut ditulis dengan huruf Nagari dan Kawi, serta
berbahasa Bali kuno dan Sanskerta. Dari ketiga prasasti
tersebut tertulis raja Bali yang bernama Kesariwarmadewa
pendiri Wangsa Warmadewa di Bali.
Berdasarkan catatan yang ditemukan dalam prasastiprasasti,
pe ngaruh agama dan kebudayaan Buddha di Bali
datang lebih dulu di banding kan dengan pengaruh Hindu.
Prasasti berangka tahun 882 M yang menggunakan bahasa
Bali kuno menerangkan tentang pemberian izin kepada
para biksu untuk mem buat pertapaan di Bukit Cintamani.
Pengaruh Hindu di Bali cukup kuat ketika Bali berada di
bawah kekuasaan Jawa Timur sejak abad ke-10 M dan pada
masa kekuasaan Majapahit abad ke-14 M.
Masuknya pengaruh Hindu- Buddha tidak mengubah
bentuk bangun an per ibada tan setempat, yaitu pura yang
mirip dengan bangun an punden berundak pening galan
zaman Mega litikum. Pada zaman setelah masuknya
Hindu, ke percaya an terhadap animisme pun masih kuat.
Hal ini tercermin dari kepercayaan mereka terhadap
dewa-dewa gunung, batu-batu besar, laut, dan dewadewa
lain yang ber kaitan dengan alam. Raja-raja Bali pun
tetap menggunakan gelar-gelar kebangsawanan khas
Bali. Adapun dalam keluarga masyarakat Bali dikenal
nama-nama anak berdasar kan urutan kelahirannya.
Misalnya, anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat,
yaitu Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut.
Berdasarkan prasasti-prasasti di Bali di ketahui
bahwa sejak dulu masyarakat Bali hidup bercocok tanam.
Dalam prasasti disebut istilah sawah, parlak (sawah
kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), dan kasuwakan
(pengairan sawah). Dalam Prasasti Klungkung (1072 M)
disebutkan istilah kasuwakan yang berkembang menjadi
istilah subak. Subak yang dikenal sekarang dalam sistem
pertanian di Bali sudah dikenal sejak abad 11 M.
Selain sektor pertanian, dikembangkan pula sektor
perdagangan. Ber dasarkan berita Prasasti Banwa Bharu,
Kerajaan Bali sudah mengenal per dagangan antarpulau.
Raja Bali sudah mengenakan bea cukai dan pajak
terhadap barang yang diperjual beli kan dengan tidak
memberatkan.
Ciri masyarakat Bali kuno lainnya, yaitu sikap
terbuka dalam me nge luar kan pendapat. Walaupun
mendapat pengaruh Hindu dan Buddha, budaya Bali
tetap menampil kan ciri-ciri khususnya yang berbeda
dengan kebudayaan India.
12. Kerajaan Sunda
Setelah Tarumanagara runtuh pada 670 M, muncul
Kerajaan Sunda dengan pusat kerajaan mulai dari Galuh dan
berakhir di Pakuan Pajajaran. Menurut Carita Parahyangan,
raja yang berkuasa di Galuh ialah Sanna atau Sena yang
mempunyai putra bernama Sanjaya. Namun, berdasarkan
isi Prasasti Canggal (732 M) disebutkan Sanjaya ialah anak
Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Berdasarkan
kedua berita itu dapat disimpulkan bahwa Sanjaya
ialah anak Sanna atau Sena dari perkawinannya dengan
Sannaha. Raja Sanna atau Sena ini kemudian dikalahkan
oleh Rahyang Purbasora (saudara seibu Raja Sena), namun
Sanjaya berhasil merebut kembali Kerajaan Galuh.
Nama Sunda muncul pada Prasasti Sanghiang Tapak
(1030 M) yang ditemukan di Kampung Pangcalikan
dan Bantarmuncang, Cibadak, Sukabumi. Nama tokoh
yang disebut di sini ialah Maharaja Sri Jayabhupati yang
menganut agama Hindu. Menurut Carita Parahyangan,
pusat Kerajaan Sunda pada masa Sri Jayabhupati terletak
di Pakuan Pajajaran.
Pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu, pusat
Kerajaan Sunda terletak di Kawali. Dari prasasti-prasasti
Kawali diperoleh keterangan bahwa di Kota Kawali terdapat
keraton bernama Surawisesa. Jika dilihat dari Prasasti Batu
tulis, tokoh Prabu Raja Wastu sama dengan tokoh yang
disebut sebagai Rahyang Niskala Wastu Kancana sebagai
tokoh yang digantikan oleh Susuhunan di Pakuan Pajajaran.
Menurut Carita Parahyangan ketika terjadi Peristiwa Bubat,
Wastu Kancana masih kecil sehingga pemerintahannya
diserahkan kepada pengasuhnya Hyang Bunisora. Jadi,
tidak benar dalam Peristiwa Bubat itu Kerajaan Sunda
tidak punya raja lagi. Wastu Kancana menerima tampuk
pemerintahan (1371–1471 M). Ia, kemudian digantikan oleh
anaknya Ningrat Kancana atau Tohaan di Galuh.
Peninggalan Sejarah Kerajaan
C. Hindu-Buddha di Indonesia
Peninggalan sejarah kerajaan Hindu-Buddha meliputi
seni bangunan, seni rupa, dan seni sastra.
1. Seni Bangunan
Seni bangunan Hindu-Buddha di Indonesia terdiri atas
bangunan keagamaan (candi dan stupa) dan nonkeagamaan
(gapura dan pertirtaan atau tempat mandi).
a. Candi
Candi berasal dari kata candikagraha yang artinya
kediaman. Candika, sebutan untuk Dewi Durga (Dewi
Kematian). Candi adalah bangunan yang berfungsi
sebagai makam sekaligus tempat pemujaan, khususnya
bagi raja dan kalangan ter kemuka lainnya.
Candi terdiri atas tiga bagian, yaitu kaki candi,
tubuh candi, dan atap candi. Kaki candi melambangkan
alam bawah (bhurloka), yaitu dunia manusia yang masih
terikat hal-hal duniawi. Tubuh candi melambang kan
alam antara (bhuvarloka), yaitu dunia manusia yang
tidak terikat hal-hal duniawi. Atap candi melambangkan
alam atas (svarloka), yaitu dunia tempat para dewa
bersemayam.
Dilihat dari susunannya, terdapat tiga corak bangunan
candi, yaitu corak Jawa Tengah bagian utara, corak Jawa
Tengah bagian selatan, dan corak Jawa Timur.
1) Corak Candi Jawa Tengah bagian Utara
Corak candi ini meng gambarkan susunan masyarakat
yang mendekati demokratis. Hal ini tampak dari
susunan kompleks candi yang sama bangunannya, baik
ukuran maupun modelnya. Tidak ada bangunan candi
yang mencolok melebihi bangunan yang lain. Misalnya,
Candi Canggal, Kompleks Candi Gedong Songo, dan
Kompleks Candi Dieng.
2) Corak Candi Jawa Tengah bagian Selatan
Corak candi ini meng gambarkan susunan masyarakat
yang feodal dengan menempatkan raja sebagai pusat. Hal ini
tampak dari susunan kompleks candi kecil yang mengelilingi
candi utama yang bentuknya lebih besar. Misalnya, Candi
Kalasan, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu,
Candi Sukuh, dan Candi Mendut.
3) Corak Candi Jawa Timur
Corak candi ini meng gambarkan susunan masyarakat
yang federal, di mana raja berdiri di belakang untuk mempersatukan.
Hal ini tampak dari susunan bangunan candi
utama di latar belakang bangunan candi yang lebih kecil.
Misalnya, Candi Bima, Candi Badut, Kompleks Candi
Penataran, Candi Jawi, Candi Jago, Candi Singhasari, dan
Candi Sumberawan.
Ciri-ciri menonjol yang membedakan candi-candi
Jawa Tengah, yaitu umumnya menghadap ke arah timur,
bentuk atap bertingkat, puncak candi berbentuk ratna
atau stupa, bentuk bangunan tambun, letak candi di
tengah halaman, dan bahan terbuat dari batu andesit.
Adapun candi Jawa Timur, umumnya menghadap
ke arah barat, atap piramida jenjang, puncak candi
berbentuk kubus, bangunan ramping, candi di bagian
belakang halaman, dan bahan terbuat dari batu bata.
b. Stupa
Stupa adalah bangunan yang berkaitan dengan agama
Buddha yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
benda-benda keramat peninggalan Buddha Gautama
dan tempat untuk memperingati kejadian penting
dalam kehidupan Buddha Gautama. Misalnya, stupa
Borobudur, stupa Muara Takus, dan stupa Kalasan.
c. Gapura
Gapura adalah bangunan berupa pintu gerbang.
Gapura ada yang beratap dan berdaun pintu dan ada yang
menyerupai candi terbelah dua. Misalnya, Gapura Wringin
Lawang di Trowulan peninggalan Kerajaan Majapahit.
d. Petirtaan
Petirtaan adalah pemandian suci di kalangan istana.
Misalnya, petirtaan Tirtha Empul dan Jolotondo.
2. Seni Rupa
Bentuk peninggalan seni rupa bercorak Hindu- Buddha
di Indonesia terdiri atas relief dan arca.
a. Relief
Relief adalah hasil seni pahat berupa hiasan-hiasan
pengisi dinding candi yang melukiskan cerita. Relief
dipahatkan pada kaki candi, tubuh candi, atau atap candi.
Misalnya, relief perjalanan hidup Siddharta Buddha
Gautama pada Candi Borobudur dan relief Ramayana pada
dinding Candi Prambanan.
b. Arca
Arca adalah patung yang dipahat sedemikian
rupa sehingga membentuk bentuk tertentu. Setiap arca
memiliki tanda sendiri untuk membedakan dewa yang
satu dengan yang lain. Misalnya, arca Dwarapala di Candi
Singhasari, arca Airlangga dalam wujud Dewa Wisnu, arca
Siddharta Gautama, dan arca Ken Dedes dalam wujud
Prajnaparamita.
3. Seni Sastra
Bentuk peninggalan seni sastra bercorak Hindu-
Buddha di Indonesia terdiri atas prasasti dan kitab.
a. Prasasti
Prasasti merupakan tulisan pada batu yang memuat
berbagai informasi tentang sejarah, dan peringatan
atau catatan suatu peristiwa. Misalnya, Prasasti Kutai,
Prasasti Canggal, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Talang
Tuo, dan Prasati Kota Kapur.
b. Kitab
Kitab merupakan hasil karangan berupa kisah, catatan,
atau laporan tentang suatu peristiwa atau kejadian. Isi kitab
tidak berupa kalimat langsung, tetapi berupa puisi dalam
sejumlah bait yang disebut kakawin. Misalnya, Kakawin
Bharatyudha karya Empu Sedah dan Empu Panuluh,
Arjunawiwaha karya Empu Kanwa. Smaradhana karya
Empu Dharmaja, Negarakertagama karya Empu Prapanca,
Sutasoma Arjunawijaya, Sanghyang Siksa Kandang Karesian,
dan Pararaton karya Empu Prapanca.

1 komentar: